PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Kita ketahui bahwa sebelum reformasi, sistem politik
yang berlangsung di Indonesia adalah sistem politik yang tertutup, partisipasi
masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan tidak terlalu penting bagi
pemerintah. Pemerintah selalu yakin bahwa dialah satu-satunya aktor yang
benar-benar tahu akan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Atas nama
pembangunan dan kesejahteraan yang ditafsirkan sepihak oleh pemerintah,
kebijakan publik acapkali membawa malapetaka bagi masyarakat karena masyarakat
tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Tidak adanya ruang
dalam proses pembuatan kebijakan publik mengakibatkan kebijakan publik yang
dibuat seringkali tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat.
Di masa lalu (Orde Baru), aktor-aktor yang terlibat
dalam proses pembuatan kebijakan publik sangat terbatas dan hanya berkisar di
lingkaran kecil elit birokrasi dan militer. Sehingga beragam artikulasi
kepentingan di luar birokrasi lebih banyak ditanggapi melalui proses
klientelisme atau penyerapan (absorsi) tanpa proses pelibatan aktor extra
state.
Dengan lahirnya reformasi, ada dua perubahan besar
yang terjadi di Indonesia yaitu demokratisasi dan desentralisasi. Dengan adanya
demokrasi, tuntutan membuka ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat menjadi
sesuatu yang tak terelakkan lagi. Dalam sistem politik demokratis, perumusan
kebijakan publik mensyaratkan hal-hal mendasar yang sebelumnya terabaikan,
yaitu melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembuatan kebijakan.
Sekiranya itulah yang melatar belakangi penyusun menyusun makalh ini dengan
judul “ Partisipasi Politik Pada Kaum
Marginal “
2. Rumusan
Masalah
Kajian pada
pembahasan makalah ini difokuskan pada Siapa sajakah
mereka? Apakah rakyat miskin yang termarginalkan itu juga termasuk di dalamnya?
Lalu masyarakat yang bagaimanakah yang dimaksud? Sebenarnaya apakah partisipasi
politik itu? Aspek-aspek apa saja yang ada didalamnya?
3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Mengetahui Siapa sajakah mereka? Apakah rakyat miskin
yang termarginalkan itu juga termasuk di dalamnya? Lalu masyarakat yang
bagaimanakah yang dimaksud? Sebenarnaya apakah partisipasi politik itu?
Aspek-aspek apa saja yang ada didalamnya?
4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis adalah metode
kepustakaan yaitu mencari sumber-sumber yang berhubungan dengan materi yaitu
lewat buku, artikel, internet dan lain-lain.
BAB II
KERANGKA
TEORI
1.
Pengertian
Partisipasi
Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “participation”
adalah pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Keith
Davis, partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada
pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi
tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Sebenarnya
partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu
perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai
dengan tingkat kematangan dan tingkat
kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun
bidang mental serta penentuan kebijaksanaan.
Jadi dari beberapa pengertian di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah suatu keterlibatan
mental dan emosi serta fisik peserta dalam
memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan
dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung
jawab
atas keterlibatannya.
Bentuk partisipasi yang nyata
yaitu :
- Partisipasi
uang adalah bentuk partisipasi
untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang
memerlukan bantuan
- Partisipasi
harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta
benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas
- Partisipasi
tenaga adalah partisipasi yang
diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat
menunjang keberhasilan suatu program
- Partisipasi
keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang
dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya
Partisipasi buah pikiran lebih
merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran
konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan
program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan
pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat
diketahui bahwa dalam partisipasi terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
- Keterlibatan
peserta didik dalam segala kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar
mengajar.
- Kemauan
peserta didik untuk merespon dan berkreasi dalam kegiatan
yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar.
Partisipasi siswa dalam pembelajaran
sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Dengan demikian tujuan pembelajaran yang
sudah direncakan bisa dicapai semaksimal mungkin.
Tidak ada proses belajar tanpa
partisipasi dan keaktifan anak didik yang belajar. Setiap anak didik pasti aktif dalam belajar, hanya yang
membedakannya adalah kadar/bobot keaktifan anak didik dalam belajar. Ada
keaktifan itu dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Disini perlu
kreatifitas guru dalam mengajar agar siswa berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran. Penggunaan strategi dan metode yang tepat akan menentukan
keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Metode belajar mengajar yang bersifat
partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa siswa dalam situasi yang
lebih kondusif karena siswa lebih berperan serta lebih terbuka dan sensitif
dalam kegiatan belajar mengajar.
2. Bentuk - Bentuk Partisipasi
Menurut Effendi, partisipasi ada dua
bentuk, yaitu partisipasi vertikal dan partisipasi horizontal.
- Partisipasi
vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang
terlibat di dalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain,
dalam hubungan mana masyarakat berada sebagai posisi bawahan.
- Partisipasi
horizontal adalah dimana masyarakatnya tidak mustahil untuk mempunyai
prakarsa dimana setiap anggota / kelompok masyarakat berpartisipasi secara
horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha
bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. menurut
Effendi sendiri, tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda
permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri
3. Prinsip-prinsip partisipasi
Sebagaimana tertuang dalam Panduan
Pelaksanaan Pendekatan Partisipati yang disusun oleh Department for
International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107)
adalah:
- Cakupan:
Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.
- Kesetaraan
dan kemitraan (Equal Partnership): Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa
serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam
setiap proses guna membangun dialog tanpa
memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.
- Transparansi:
Semua pihak harus dapat menumbuh kembangkan komunikasi dan iklim
berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
- Kesetaraan
kewenangan (Sharing Power/Equal Powership): Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk
menghindari terjadinya dominasi.
- Kesetaraan
Tanggung Jawab (Sharing Responsibility: Berbagai pihak mempunyai tanggung
jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing
power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan
langkah-langkah selanjutnya.
- Pemberdayaan
(Empowerment: Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan
aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar
dan saling memberdayakan satu sama lain.
- Kerjasama:
Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling
berbagi kelebihan
guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan
dengan kemampuan sumber daya manusia.
4.
Pengertian Politik
Kalau kita tinjau dari asal kata
politik itu berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” dimana artinya adalah
negara kota, dan dari kata polis tersebut bisa didapatkan beberapa kata, diantaranya:
- polities => warga negara
- politikos => kewarganegaraan
- politike episteme => ilmu
politik
- Politicia => pemerintahan Negara
Jadi kalau kita tinjau dari asal
kata tersebut pengertian politik secara umum dapat dikatakan bahwa politik
adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang menyangkut proses
penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Namun banyak versi dari pengertian
politik tersebut, diantaranya:
- Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.
- Politik
adalah bermacam2 kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yg menyangkut
proses menentukan tujuan2 dari sistem indonesia dan melaksanakan tujuan2
itu (Mirriam Budiharjo)
- Politik
adalah perjuangan utk memperoleh kekuasaan / teknik menjalankan kekuasaan2
/ masalah2 pelaksanaan dan kontrol kekuasaan / pembentukan dan penggunaan
kekuasaan (Isjware)
- Politik
adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yg dilembagakan dalam
bermacam2 badan politik baik suprastruktur politik dan infrastruktur
politik (Sri Sumantri)
- Politik
adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(Aristoteles)
- Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan dan negara.
- Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan
dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
- Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan publik.
Melihat banyak versi pengertian politik tersebut, maka
sebenarnya bisa disimpulkan secara singkat bahwa “politik adalah siasat/cara atau taktik untuk mencapai
suatu tujuan tertentu”
5. Pengertian Kaum Marginal
Sekarang mari kita bandingkan antara definisi
operasional tadi dengan definisi dari kamus dan beberapa sumber. Marjinal
berasal dari bahasa inggris 'marginal' yang berarti jumlah atau efek
yang sangat kecil. Artinya, marjinal adalah suatu kelompok yang jumlahnya
sangat kecil atau bisa juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera. Marjinal
juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan.
Jadi kaum marjinal adalah masyarakat kelas
bawah yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat. contoh dari kaum marjinal
antara lain pengemis, pemulung, buruh, petani, dan orang-orang dengan
penghasilan pas-pasan atau bahkan kekurangan. Mereka ini adalah bagian tak
terpisahkan dari negara kita.
BAB
III
PEMBAHASAN
1. Makna Partisipasi
Politik
Pengertian partisipasi politik
adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai
warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi
politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang
berkuasa.
Definisi partisipasi politik yang
cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini,
partisipasi politik " ... a series of activities related to
political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct
way—legal, conventional, pacific, or contentious. Bagi Bolgherini,
partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan
politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai,
ataupun memaksa.
Studi klasik mengenai partisipasi
politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan
suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga
termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik,
cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious).
Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan
mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan
kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap
melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik
adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan
dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di
negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara
dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem
politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan
Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and
Political Participation in Europe. Warga negara di negara-negara Eropa
Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi
politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia,
Portugal, dan Yunani).
2.
Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah
asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik.
Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
- Kelas – individu-individu dengan status sosial,
pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
- Kelompok atau komunal – individu-individu dengan
asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
- Lingkungan – individu-individu yang jarak tempat
tinggal (domisilinya) berdekatan.
- Partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri
dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau
mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif
pemerintahan, dan
- Golongan atau faksi – individu-individu yang
dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang
akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang
dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak
sederajat.
3.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata
cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian
besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah
mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode
partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan
1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam
gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist),
gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students
protest), dan teror.
4.
Bentuk
Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik
bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka
bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik
menjadi:
- Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara
dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari
dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang
berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
- Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok
menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka
tentang suatu isu;
- Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke
dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
- Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam
membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan
- Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan
individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara
menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini
adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination),
revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik
menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi
politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum
memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik,
menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala
subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk
partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3)
Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi langsung. Opini publik adalah gagasan serta
pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.
v Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja
mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka
atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi
politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
v Polling. Polling adalah upaya
pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah,
partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di
dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya
yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit
polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana,
murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap
tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi
responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang
hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas
populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified
sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling
adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar.
Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama,
orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu
masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling.
Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat
munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified
sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang
cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi
partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama
dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen
pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah
memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
v Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat
hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling
"paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar
punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel).
v Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu
situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi
langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit adalah
pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah
tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami
deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak.
Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan
suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu
direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah
referendum.
6. Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian
faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat
dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk
kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political
Dissafection dan Political Efficacy.
Political Disaffection. Political Disaffection
adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau
kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political
disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi.
Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang
mempopulerkan istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu
menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami
keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat
melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem
politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya.
Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi
memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk
sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara.
Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau
kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political Efficacy adalah
istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi
politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik.
Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat
pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang
menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak
tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu
atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political
Efficacy ini.
Pernyataan-pernyataan sehubungan
dengan masalah Political Efficacy ini adalah:
- “Saya berpikir bahwa para
pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.”
- "Ikut mencoblos dalam
Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa
berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.”
- “Orang seperti saya tidak bisa
bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.”
- “Kadang masalah politik dan
pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti
saya.”
Political efficacy terbagi 2 yaitu external
political efficacy dan internal political efficacy. External
political efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara
dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3. Sementara internal political
efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu,
yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian
peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika
tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external
political efficacy tinggi.
Syarat agar partisipasi dapat berjalan
1.
Keleluasaan, ada dua ruang yaitu ruang
politik dan sosial yan g harus dibuka secara leluasa.
·
Ruang politik.
Pemerintah harus mengembangkan struktur kesempatan politik yang mampu
memfasilitasi proses partisipasi agar bisa berjalan dan berkembang dengan
optimal. Sistem politik dan institusi publik yang ada harus memberikan iklim
yan gkondusif bagi tumbuh kembangnya partisipasi
·
Ruang sosial.
Partisipasi hanya bisa berjalan dengan baik apabila struktur sosial yang ada di
dalam masyarakat bersifat egaliter. Apabila masih kental nuansa
patron-clientnya dan sangat elitis maka dalam setiap pembuatan keputusan hanya
melibatkan segelintir elite yang mereka hormati dan tidak akan bersifat
partisipatif (masyarakat dapat terlibat aktif). Para elite ini sangat
berpotensi dalam memobilisasikan massa atau mengatasnamakan rakyat untuk
menggolkan keinginan mereka.
2.
Kesediaan dan kepercayaan
Disini
dituntut adanya kesediaan dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus
bersedia dalam memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk terlibat dna
mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada dalam proses kebijakan. Jikalau belum
ada kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi maka seyogyanya pemerintah
bersedia membuka ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi tersebut
bisa tumbuh dan berkembang. Selain itu juga adanya keharusan dari kesediaan masyarakat
untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang ada. Kesediaan ini akan
muncul jika kesadaran citizenship (kesadaran nasional) akan pentingnya hak dan
kewajiban mereka sebagai warga negara sudah mengakar dalam benak masyarakat.
Tanpa adanya kesediaan masyarakat maka mustahil untuk terjadi proses
partisipasi karena hasrat publik merupakan input utama yang akan dikonversikan
menjadi kebijakan yang lebih responsif dan accountable.
3.
Kemampuan
keleluasaan
dan kesediaan yang ada harus didukung oleh kemampuan pemerintah dan masyarakat
untuk mewujudkan nilai,prinsip dan mekanisme partisipasi yang kontinue. Setelah
kita mengetahui deskripsi (gambaran) secara garis besar (umum) tentang
partisipasi politik selanjutnya kami akan membahas tentang partisipasi politik
oleh kaum miskin. Apa, bagaimana dan rintangan apa saja yang akan dihadapi kaum
miskin dalam berpartisipasi dalam politik? Tetapi sebelumnya kita harus tahu
terlebih dahulu, siapakah orang atau kaum miskin itu ?
Definisi
Kaum miskin (marjinal).
Kaum miskin ( The Poor) yang kami
maksudkan disini adalah:
1.
Di daerah pedesaan yaitu petani atau buruh
tani pada tingkat subsistensi dan di bawah subsistensi (sub-subsistensi).
·
subsistensi : mereka yang
memiliki, menyewa, menggarap lahan ( yang hampir-hampir tidak mencukupi untuk
menghidupi diri mereka dan keluarga) atas dasar perjanjian bagi hasil atau
dapat memanfaatkan berdasarkan tradisi komunal
·
sub-subsistensi :
mereka yang memiliki, menyewa atau menggarap lahan yang lebih kecil lagi atau
mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali, yang sebagian besar atau bahkan
seluruh penghasilannya tergantung kepada upah yang mereka peroleh sebagai buruh
2.
Di daerah perkotaan yaitu mereka yang
berpendidikan atau berketerampilan rendah atau bahkan tidak berpendidikan dan
tidak memiliki keterampilan sama sekali, yang memiliki pekerjaan tidak
terjamin, dengan upah yang rendah dan tidak adanya kemungkinan untuk memperoleh
kedudukan yang lebih baik. Biasanya mereka bekerja pada perusahaan-perusahaan
manufaktur atau pekerjaan jasa seperti menjadi pembantu rumah tangga, buruh
bangunan, kuli angkut, dll. Orang-orang semacam ini adalah mereka yang berada
di lapisan paling bawah dari pendistribusian pendapatan di kota di kebanyakan
negara berkembang.
3.
Penyebab Rendahnya Partisipasi Politik
Kaum Miskin. Dengan keadaan ekonomi yang begitu susah, didukung lagi dengan
keadaan politik dan pemerintahan kita yang semakin kacau dan semakin kapitalis
ini, apakah mereka masih punya harapan untuk meminta perlindungan dan
penghidupan yang lebih layak kepada pemerintah (policy makers) dengan
ikut aktif berpartisipasi untuk mengisi ruang publik yang terbuka lebar saat
ini? Menurut penelitian Samuel Huntington dan Joan Nelson yang dilakukan di
negara-negara berkembang menyimpulkan bahwa orang-orang miskin biasanya tidak
begitu antusias dalam berpartisipasi politik.
Hal
ini disebabkan karena, pada umumnya, lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai
relevansi langsung dengan kebutuhan ataupun kepentingan rakyat miskin sangat
terbatas. Contohnya dalam pelayanan kesehatan ataupun program-program pekerjaan
umum untuk mengurangi penggangguran. Jikalau negara menyediakan pelayanan
kesehatan, mereka akan memberikan pelayanan dengan kualitas dan fasilitas yang
sangat minim dan tidak berkualitas.Dengan adanya keterbatasan lingkup ini maka
usaha-usaha masyarakat untuk mengadakan kontak baik secara perorangan maupun
kelompok dengan badan-badan pemerintahan untuk membantu mengatasi atau memenuhi
kebutuhan mereka yang mendesak dianggap tidak relevan lagi atau sangat tidak
mungkin untuk dilakukan. Dan menurut mereka (rakyat miskin) lebih tidak masuk
akal lagi untuk melakukan tindakan kolektif bersama dengan kaum miskin lainnya
dalam upaya untuk mempengaruhi pemerintah.
Dengan
adanya ruang yang sangat tidak mungkin untuk mereka akses agar dapat
benar-benar bisa mengartikualsikan kepentingannya kepada pemerintah dan
pemerintah benar-benar dapat mengapresiasi dan merealisasi keinginan mereka,
maka mereka malah lebih mengandalkan orang lain. Mereka lebih berpaling kepada
anggota-anggota keluarga atau tetangga mereka yang bisa membantu, pendeta atau
pemuka-pemuka agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru atau mungkin bisa
siapa saja yang lebih baik nasibnya dan mampu membantu mereka. Karena
ketidaktahuan mereka, terutama rakyat miskin yang berada di daerah pedesaan.
Mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kebijaksanaan dan program-program
pemerintah yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka, hal ini
dikarenakan karena adanya keterbatasan teknologi informatika untuk mengakses
informasi disana dan adanya keterbatasan pendidikan dan pengetahuan rakyat di
daerah pedesaan.
Kita
ketahui bahwa di kebanyakan daerah pedesaan pendidikan dan perkembangan
informasi berjalan sangat lamban dan apabila mereka mendapatkan informasi,
mereka mungkin juga tidak menyadari bahwa ada hubungan yang sangat erat antara
kepentingan-kepentingan mereka dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang
dijalankan oleh pemerintah, seperti kurs mata uang asing, insentif perpajakan
yang mendorong inflasi yang semuanya itu memiliki dampak langsung atas
kepentingan mereka (rakyat miskin).
Tetapi
walaupun program-program nyata pemerintah tersebut sekarang ini sudah bisa
dirasakan, diakses oleh masyarakat , akan tetapi dalam hal-hal dimana
pemerintah dipandang relevanpun, orang-orang miskin cenderung untuk
berkesimpulan bahwa upaya individual dan kolektif untuk mempengaruhi pemerintah
secara signifikan tidak ada gunanya. rakyat miskin tidak memiliki sumber-sumber
daya untuk berpartisipasi secara aktif dan efektif, informasi yang kurang
memadai, tidak memiliki kontak-kontak yang tepat dan seringkali juga waktu.
orang
miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan ataupun tekanan-tekanan
dari pihak mereka apakah yang dilakukan secara perorangan ataupun kolektif,
akan dianggap sepi atau ditolak oleh pemerintah dan anggapan itu sering kali
benar jikalau mereka berani mengartikulasikan apa keinginan mereka, seringkali
justru menimbulkan represi dari pihak pemerintah atau tindakan pembalasan dari
pihak-pihak partikelir yang merasa kepentingan mereka terancam oleh sikap
golongan miskin yang menuntut hak-hak mereka. Terutama mereka yang berada pada
batas atau di bawah subsistensi, mereka sangat rawan terhadap ancaman dari
pihak majikan, tuan tanah maupun kreditor. Hal ini sangat kental sekali di
negara kita terutama pada masa Orba, dimana semua hal yang berlawanan dengan
keinginan “negara” akan dengan tegas dan jelas mendapatkan represi dan ancaman
dari negara. Rintangan-rintangan yang menyebabkan partisipasi politik rendah
adanya ikatan patron-client yang sangat erat di masyarakat desa dan adanya
kesulitan dalam melakukan kegiatan politik yang terorganisir karena tiadanya
rangsangan yang mengakar di dalam fakta kehidupan masyarakat miskin karena
dahulunya fatalisme sangat kuat dan rasa hormat terhadap mereka yang lebih
tinggi kedudukannya dari segi sosial dan politik juga sangat kental sehingga
mereka menganggap mereka memang pantas untuk diikuti (memiliki kemampuan) dan
kebijakan mereka adalah yang terbaik sehingga rakyat sepenuhnya tunduk dan
mengikuti kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
Disamping
itu partisipasi kaum miskin juga sangat dipengaruhi oleh keterbukaan sikap
golongan politik yang sudah mapan. Adanya keterbukaan mereka dalam membuka
kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi politik. Dalam faktanya mereka
seringkali memberikan sanksi-sanksi institusional dan sosial serta
tekanan-tekanan ataupun membuat peraturan-peraturan yang mempersulit
partisipasi. Misalnya saja pada awal 70-an, orang-orang buta huruf di Brazil
dan Ekuador tidak diperkenankan untuk memberikan suara,baru belakangan ini saja
mereka boleh mengggunakan hak suaranya; dalam pemilihan kotapraja di beberapa
daerah, masyarakat harus memenuhi syarat-syarat kekayaan.
1. Kontak
Individual untuk Memperoleh Manfaat Khusus
Mencari kontak individual untuk memperoleh manfaat
khususnya merupakan bentuk yang paling jelas dan mudah dari partisipasi politik
yang otonom bagi mereka yang tadinya bersikat apolitiks. Dari semua bentuk
partisipasi politik, mengadakan kontak individual menunjukkan hubungan yang
paling jelas, langsung dan (biasanya) segera antara tindakan dan hasilnya.
Bentuk-bentuk partisipasi lainnya membuahkan hasil-hasil yang seringkali tidak
pasti, diperoleh setelah lewat suatu jangka waktu tertentu dan secara
bercampur-baur (diffused). Tidak ada seorang pun partisipan yang bisa
merasa pasti bahwa tindakan akan membuahkan hasil yang pada umumnya
dikehendaki, atau apakah dan kapan ia secara pribadi akan memeproleh
manfaatnya. Meskipun usaha mengadakan kontak itu mungkin memerlukan banyak
inisiatif dan keuletan, namun diperkirakan bahwa orang-orang yang
berpenghasilan rendah lebih sering melakukan kegiatan itu daripada
bentuk-bentuk partisipasi lainnya.
Kegiatan-kegiatan, skeptisisme, dan
kesulitan-kesulitan fisik atau sosial untuk menemui pejabat semuanya membatasi
kegiatan mengadakan kontak maupun bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya di
kalangan kaum miskin di semua negara. Akan tetapi di negara-negara yang sedang
berkembang, kegiatan mengadakan kontak yang partikularistik oleh kaum miskin
itu seringkali dibatasi oleh satu rintangan umum lainnya: lingkup yang relatif
sempit dari pelayanan-pelayanan dan manfaat-manfaat individual yang bisa
diperoleh melalui badan-badan pemerintah.
Dimana diketahui tersedia fasilitas-fasilitas, akan
tetapi rakyat berpendapat bahwa para pejabat tidak akan memberikan tanggapan
atau akan menuntut uang suap yang besar, mereka mungkin akan berusaha minta
perantara seorang tokoh yang lebih berpngaruh atau kaya. Dengan kata lain,
adanya fasilitas-fasilitas yang dianggap relevan namun tidak dapat diperoleh,
menyebabkan kontak-kontak dilakukan melalui saluran-saluaran patron bagi
partisipasi yang dimobilisasikan.
2. Partisipasi
yang Dimobilisasikan
Partisipan dirangsang untung bertingkah-laku dengan
cara-cara yang bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah tanpa adanya minat
pribadi dari mereka.
Faktor-faktor/ fenomena-fenomena lain yang bisa
mempengaruhi tingkat partisipasi politik kaum miskin:
·
Lobi elite politik, dengan adanya lobi
elit politik yang tidak berusaha membahas masalah bersama akan tetapi mencoba
untuk merancang pembagian kekuasaan membuat orang-orang miskin pesimis akan
keikutsertaanya dalam kancah politik.
·
Serangan fajar, inilah yang membuat
orang-orang miskin yang awalnya pesimis akan pengaruh dalam partisipasi
politiknya menjadi sedikit tergugah. Nominal yang tak seberapa dan mungkin
hanya bisa untuk bertahan hidup dalm satu hari penuh ia ambil sebagai balas
jasa setelah memilih calon yang memberi nominal tersebut.
3. Perhimpunan-perhimpunan
Kepentingan Khusus
Organisasi-organisasi dengan kepentingan khusus di
kalangan orang yang berpenghasilan rendah mengandung banyak logika dari
kegiatan mengadakan kontak khusus. Dan organisasi-organisasi sifatnya tidak
permanen,artinya organisasi ini biasanya langsung membubarkan diri setelah
tujuannya tercapai.Cara yang mereka menggunakan adalah tindakan yang
kolektif(bersama-bersama),sehingga mereka dapat mengejar tujuan-tujuan yang
melampaui tindakan yang dilakukan orang dengan mengajukan petisi secara
sendiri-sendiri
Kondisi-Kondisi bagi Kelompok-kelompok Kepentingan
Khusus Berukuran Kecil
Beberapa persyaratan sebelum organisasi semacam ini
dapat tumbuh:
·
Harus ada kesadaran tentang adanya masalah
bersama yang dirasakan mempunyai prioritas tinggi. Prioritas yang tinggi ini
biasanya ditentukan oleh keadaan kehidupan masyarakat pada waktu itu dan juga
rencana-rencana untuk masa depan.
·
Persoalan harus dianggap sebagai cocok
atau masuk akal bagi tindakan atau bantuan pemerintah yang segera dan
spesifik.Beberapa masalah yang dianggap paling cocok dengan tindakan pemerintah
yang segera dan spesifik adalah masalah yang pertama-pertama ditimbulkan oleh
pemerintah sendiri.
·
Harus ada semacam jaminan bahwa
manfaat-manfaat akan dibagi rata,atau setidak-tidaknya bahwa tidak akan ada
perorangan atau klik yang mengantongi bagian terbesar dari buah hasilnya.
Jaminan semacam ini akan diperoleh jika manfaat yang
sedang dicari itu sifatnya sedemikian rupa sehingga tiidak dapat dibagi-bagi.
·
Partisipasi yang bebas oleh orang-orang
miskin membutuhkan pemimoin-pemimpin yang sedikit banyaknya mengetahui
bagaimana caranya menggunakan pengaruh.Di daerah pedesaan pemimpin-pemimpin itu
biasnya adalah orang memiliki sedikit banyak pengalaman hidup di kota.
·
Akhirnya, tindakan politik kolektif harus
dianggap sebagai sama atau lebih “cost-effective” dibandingkan dengan cara-cara
alternatifnya.Artinya,kemungkinan bagi tercapainya hasil-hasil yang diinginkan
itu melalui tindakan politik kolektif harus kelihatan sama baik atau lebih
baik,atau setidaknya upaya atau resiko yang dibutuhkan harus kelihatan lebih
kecil,daripada apabila ditempuh cara-cara lain untuk mencapai tujuan yang sama.
4.
Taktik Kelompok kepentingan; khusus di kalangan kaum miskin
Kelompok-kelopok kepentingan di berbagai negara-negara
berkembang bisanya menyampaikan seruannya melalui koran-koran atau radio yang
memang menyediakan ruangan khusus untuk tulisan-tulisan atau berita lokal yang
memang menguraikan masalah-masalah komunitas tertentu atau usaha-usaha swadaya
dan seruan-seruan minta bantuan dari kelompok-kelompok khusus.
Tidak hanya tujuan-tujuan kelompok kepentingan khusus
itu kecil dan taktik-taktik mereka moderat, akan tetapi upaya-upaya mereka
biasanya berumur pendek atau sporadis. Pada mulanya kelompok-kelompk orang
miskin bersikap sinis dan masa bodoh, serta terpecah-pecah, sementara mereka
mencurigai pemimpin-pemimpin mereka sendiri, maka sulitlah untuk melibatkan
mereka ke dalam tindakan kolektif. Karena, jika terlibat mereka mudah berkecil
hati dan yang merupakan paradoks adalah bahwa keberhasilan pun mengancam
kelangsungan hidup organisasi.
5.
Efek Organisasi-Organisasi Kepentingan Khusus Berukuran Kecil
Kelompok-kelompok kepentingan khusus yang berukuran
kecil di kalangan kaum miskin memiliki implikasi politik yang lebih luas
daripada ketika mengadakan kontak individual. Baik melalui kontak individual
maupun partisipasi kelompok-kelompok kepentingan khusus yang berukuran kecil,
keduanya menghasilkan manfaat bagi kaum miskin. Frekuensi dan volume kedua
jenis partisipasi tersebut dapat mencerminkan sebuah keberhasilan. Tetapi bila
kesemua volume tuntutan individual atau kelompok kecil yang diajukan oleh kaum
miskin sangat besar maka kemungkinannya tidak akan mempunyai pengaruh yang
berarti terhadap sisitem politik yag lebih luas. Tekanan-tekanan yang jika
dibiarkan dapat mengambil bentuk yang kolektif dan ditujukan terhadap
langkah-langkah penyusunan kebijaksanaan sesungguhnya yang disalurkan
sedemikian rupa sehingga menjadi tuntutan kecil yang terpisah-pisahkan yang
dapat dipenuhi seluruhnya atau untuk sebagian.
Tetapi kelompok-kelompok kepentingan khusus memiliki
dampak yang besar terhadap sikap dan persepsi politik tiap anggotanya. Dengan
mengontrol efek-efek usia, status sosio-ekonomi, dan lamanya waktu tinggal di
kota kita dapat menemukan dalam hal respondennya secara keseluruhan bahwa
kontak-kontak dengan pemerintah dan jasa-jasa pribadi yang telah diterima
mempunyai kaitan yang positif dan cukup kuat dengan perasaan efektifitas
politik pribadi, rasa bangga dan identifikasi dengan lembaga politik nasional,
dukungan umum kepada sistem politik dan persepsi mengenai tanggapan pemerintah
terhadap tekanan-tekanan warganya.
Pengalaman yang berhasil dalam partisipasi melalui
kelompok-kelompok kecil dapat meningkatkan perasaan efektifitas politik.
Bentuk, tujuan dan lamanya usia kelompok-kelompok seperti itu cenderung sangat
terbatas sampai sejauh mana sikap yang dibentuk oleh pengalaman yang berhasil
dengan himpunan di lingkungan sekitarnya, koperasi pedesaan atau organisasi
kecil yang dapat dialihkan kepada partisipasi yang diorganisasikan atas dasar
yang berbeda
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagi kebanyakan orang miskin dalam kondisi-kondisi
yang paling lazim, partisipasi politik, baik dulu maupun sekarang secara
objektif merupakan suatu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk
menanggulangi masalah-masalah mereka. Hasil survei yang dilakukan Huntington di
beberapa negara berkemabang mencerminkan hal itu, hanya sebagian kecil saja
dari orang-orang yang berpenghasilan dan berpendidikan rendah yang mempunyai
minat dalam politik dan menganggap politik relevan dengan urusan mereka dan
mereka juga merasa bisa ikut mempengaruhi pemerintah.
B. Saran
Hendaknya pemerintah lebih memperhatikan lagi kaum
marjinal, karena mereka juga termasuk warga negara indonesia yang tidak bisa di
kesampingkan. Begitu juga dalam proses perpolitikan kaum marjinal kurang
dilirik dan ada juga yang melirik tapi habis manis sepah di buang.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi
·
http://revolsirait.com/pengertian-politik/
·
http://jamal-merdeka.blogspot.com/2012/10/apa-itu-kaum-marjinal-marginal.html
·
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi
Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
·
Silvia Bolgherini, "Participation"
dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive
Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of
Chicago, 2010) p. 169.
·
Oscar Garcia Luengo, E-Activism New
Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre
2006)
·
Samuel
P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
·
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont:
Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
·
Christina
Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and
Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication,
(California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
·
Jan W. van Deth, Political Participation,
dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid.,
p.531-2.
·
Kai
Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina
Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
Sumber Makalah: Jajang Soebandi
No comments:
Post a Comment